MEROKOK
Saya pandangi empat anak tanggung yang berdiri di depan saya satu persatu. Bahkan seragam biru putihnya saja belum jadi, tapi mereka sudah membuat catatan pelanggaran tata tertib sekolah, merokok di toilet
Tidak nampak rasa bersalah di wajah-wajah itu. Sesekali saling lirik, menggoyangkan sikut kemudian cengar cengir cekikikan tertahan
Tidak nampak rasa bersalah di wajah-wajah itu. Sesekali saling lirik, menggoyangkan sikut kemudian cengar cengir cekikikan tertahan
Sebel sebenarnya, tapi sekuat tenaga saya menahan diri untuk tidak tersinggung. Tugas saya bukan untuk marah-marah. Tadi mereka sudah dimarahi pak guru bagian kesiswaan. Sudah dihukum juga. Kesini adalah untuk “dikonseling”
Saya berdehem, mereka menghentikan aktifitas sikut-sikutan lalu diam, menunduk sambil memainkan jemari di pangkuan
“Sudah terbiasa merokok di rumah?” tanya saya. Sejenak mereka saling pandang lantas mengangguk bersamaan
“Sejak kapan?” tanya saya lagi.
Rata-rata mereka merokok sejak kelas 5 SD dan orangtuanya mengetahui itu. Bahkan ada diantara mereka yang berbagi rokok dengan Ayah atau kakeknya
“Ngerti bahaya rokok?” tanya saya lagi. Mereka juga mengangguk. Saat saya suruh menyebutkan mereka juga tahu, kanker paru-paru, impotensi dan sebagainya
“Ngerti bahayanya buat orang disekitar perokok?” mereka juga tahu bahwa perokok pasif juga menanggung resiko tak kalah besarnya
Fix mereka ngerti tapi nggak paham, batin saya
Baru saya akan membuka mulut saat satu anak diantaranya tiba-tiba nyeletuk, “mbah saya lho bu, umurnya delapan puluh tahun. Sampai sekarang sehat, merokok padahal”
Terus Gurune kon piye jal?
Rasanya pengen makan bangku…
Rasanya pengen makan bangku…
Komentar
Posting Komentar