“BOLEHKAH AKU IKUT BELAJAR?”
Aku pernah menjadi Guru les anak SD saat mengikuti suami yang bertugas di sebuah desa kecil di selatan Malang. Sering ditinggal karena dia harus menyelesaikan kuliah pasca sarjana disela-sela waktunya bekerja.
Untuk membunuh sepi, setiap sore ada sepasang kakak beradik yang datang kerumah, mereka masih kerabat suami. Dua anak ini bernama Ima dan Lana, kelas 1 dan 5 SD. Kami bercerita dan menyanyi bersama, tak jarang sambil belajar dan mengerjakan PR sampai malam.
Jam 3 sore biasanya bayi Fikri sudah mandi dan duduk manis di baby walker menunggu Ima dan Lana datang. Sambil menunggu dua anak itu, aku menyelesaikan pekerjaan rumah yang masih tertunda.
Ruang tamu dan ruang tengah rumah kami hanya disekat dengan selembar kain. Dari balik tirai kudengar Fikri tertawa-tawa, padahal belum terdengar suara Ima dan Lana. Biasanya dua anak itu datang dengan penuh keributan.
Kusibak tirai, seorang anak laki-laki sedang duduk melantai didekat pintu, becanda dengan Fikri. Aku sering melihat anak itu melintas depan rumah untuk ke musholla. Beberapa kali kudapati dia mengintip dipintu ruang tamu saat kami sedang belajar. Kalau kudekati dia berlari, sebentar kemudian datang mengintip lagi terus seperti itu sampai akhirnya kubiarkan dia berdiri didepan pintu mendengarkan kami belajar.
Aku sempat bingung saat mendapati anak itu duduk didepan pintu rumah sambil membawa sebuah buku dan pensil, didekati nggak ya? khawatir lari lagi. Ragu-ragu kuletakkan keranjang cucian. Ternyata kali ini dia tidak lari, tapi demi melihatku datang kepalanya ditekuk kebawah sambil tangannya menggulung-gulung buku ditangan.
“Hai…” sapaku, anak itu diam saja sambil masih terus menunduk.
“Siapa namamu?”
“Jay” dia mulai merespon dengan jawaban pelan, “aku pengen melu sinau” lanjutnya, aku tersenyum dan mengangguk.
“Boleh banget, ayo masuk saja. Sudah bawa buku kan?” kataku. Dia tersenyum sumringah ketika kuijinkan ikut belajar bersama Ima dan Lana.
********
Namanya Jay, seharusnya sudah kelas 1 SMP tapi karena sering tinggal kelas maka sekarang menjadi teman sekelas Ima dan belum lancar membaca. Dia tinggal di belakang rumah kami bersama nenek, Ayah Ibunya bekerja di luar kota.
Tumbuh kembang Jay memang lamban sejak kecil, wajar saja jika prestasi akademiknya sangat memprihatinkan. Tapi sungguh Tuhan Maha Adil, Jay adalah anak yang rajin dan tak gampang marah. Menurut cerita Ima, di sekolah ia sering diejek teman-temannya yang nakal. Biasanya Imalah yang menjadi pembela.
Beberapa minggu setelah Jay ikut belajar murid lesku bertambah lagi tiga anak, jadi sekarang ada 6 anak yang setiap sore meramaikan rumah. Dan Jay adalah satu-satunya anak yang selalu datang tepat pukul 3, dia sangat disiplin.
Suatu saat aku lelah sekali, semalaman anakku rewel karena demam. Sudah kali ke sepuluh, dengan berbagai cara, kujelaskan materi perkalian sederhana tapi Jay tetap tak paham. Lima temannya sudah pulang sejak setengah jam yang lalu dan ia tertahan karena belum bisa. Karena lelah kututup bukunya dan kusuruh dia pulang,
“Wis mbuh Jay, kesel aku. Muliho wae”
Kukira dia akan marah atau tersinggung, ternyata dengan santainya dia tertawa, salah satu ciri khas Jay adalah bicara sambil tertawa, lalu ikut menimpali
“Ya wis mbuh ya Mbak, ancene angel” membereskan bukunya, mencium tanganku dengan takzim lalu pulang sambil tertawa lebar, dadah dadah pada anakku. Masya Allah...
Akhir 2006 suami pindah tugas ke kota lain yang jaraknya kurang lebih 100 km. Sangat berat sebenarnya meninggalkan desa ini, kami sudah kerasan dengan suasana pedesaan yang asri dan tetangga yang baik, terutama anak-anak yang setiap sore meramaikan rumah. Mereka tak hanya meramaikan rumah tapi juga telah mengisi sebagian ruang hatiku.
Di hari perpisahan aku membeli banyak es krim untuk mereka, semua menangis dan Jay adalah anak yang menangis paling keras. Sore itu kami menangis bersama.
****
Semenjak pindah ke luar kota kami jarang berkunjung kesana lagi. Tujuh tahun berlalu dari kepindahan kami, aku kembali kesana untuk menghadiri hajatan kerabat. Saat sedang berbincang dengan Ibunya Ima seorang pemuda tinggi besar mengenakan seragam keamanan menghampiri kami,
“Mbak, pripun kabare?” kata pemuda itu
“Sopo iki?” tanyaku setelah menjawab tanyanya
“Supe, Mbak?” dia balik bertanya
“Mosok lali?” tanya Ibunya Ima, aku mengangguk
“Kulo Jay, Mbak. Murit les pean sing paling dedel, hehe..”
“Ya Allah lee, Masya Allah wis kerjo saiki” pekikku
Rasanya bahagia menyaksikan anak didik yang telah berhasil. Apalagi ini Jay. Iyaa, Jay yang dulu tak lancar membaca sampai kelas 5 SD sekarang sudah bekerja dan berhasil mandiri. Sungguh percepatan hidup seseorang tak ada yang bisa menebaknya secara pasti.
Aku yakin tak mudah bagi Jay untuk sampai pada titik ini. Bisa jadi berkat kedisiplinan dan kerja keras yang ia pupuk sejak kecil, doa serta kesabaran orangtua dan guru-guru di sekolah membuatnya bisa menjadi insan yang berguna.
Man Jadda wajada, barang siapa bersungguh-sungguh maka akan sampailah dia pada apa yang ia citakan.***
Terjemahan :
Aku pengen melu sinau : aku ingin ikut belajar
Wis mbuh Jay, kesel aku. Muliho wae : Sudahlah Jay, aku lelah kamu pulang saja
Ya wis mbuh ya Mbak, ancene angel : Ya sudah ya Mbak, biarin emang sulit
Mbak, pripun kabare? : mbak, bagaimana kabarnya?
Kulo Jay, Mbak. Murit les pean sing paling dedel : saya Jay, Mbak. Muridmu yang paling bodoh
Saiki : sekarang
Komentar
Posting Komentar