~ Bakti ~


Kami sedang mendaki puncak Ijen di Banyuwangi. Tengah malam dengan hawa dingin pegunungan yang menusuk tulang. Saya, suami dan dua anak kami berusia 13 dan 8 tahun. Perjalanan belum mencapai setengahnya saat si delapan tahun mulai mengeluh.

Sebenarnya ada angkutan khusus untuk naik ke puncak, seperti gerobak yang ditarik dua orang. Karena medan yang curam tarifnya cukup mahal, 850 ribu per orang.

Sebelum naik anak-anak ditawari sama Ayahnya, apakah jalan atau naik gerobak?

Mereka memutuskan untuk jalan kaki saja bersama pengunjung lain.

Mumpung drama tangisan belum dimulai, saya menceritakan sebuah kisah kepada anak-anak sambil mengatur nafas yang tinggal satu satu.

Sepuluh langkah berhenti, mengisi paru-paru dengan sebanyak mungkin oksigen lalu melanjutkan perjalanan. Begitu terus sampai tiga jam lamanya menuju puncak.

Saya berkisah kepada anak-anak tentang Uwais Al Qarni, orang yang hidup di jaman Rasulullah. Orang biasa yang namanya sangat terkenal di langit.

"Dahulu di Yaman hiduplah seorang pemuda yang sangat miskin. Saking miskinnya konon baju yang dimiliki hanya dua lembar. Satu dipakai satu dicuci, gitu terus. Selain miskin laki-laki ini juga punya penyakit kulit di sekujur tubuh. Setiap hari pekerjaannya menggembalakan kambing milik tetangga. Ia hidup berdua dengan Ibunya yang buta dan lumpuh. Dia sangat menyayangi Ibunya. Apapun permintaan Ibunya selalu berusaha ia penuhi.

Nah, suatu hari Ibunya pengen pergi haji ke Mekkah. Uwais bingung, darimana mendapatkan banyak uang untuk bepergian kesana. Padahal biasanya orang-orang pergi haji ke Mekkah menggunakan unta dengan perbekalan yang banyak. Uwais pusing, bahkan domba saja ia tak punya.

Setelah merenung, dia datangi tetangganya yang kaya untuk membeli seekor domba. Tapi sayang, uangnya hanya cukup untuk membeli seekor anak domba.

Kemudian Uwais membuatkan kandang anak dombanya dipuncak bukit. Setiap hari ia menggendong domba itu naik turun bukit. Orang-orang yang melihat menertawakan kelakuannya. Mereka menyangka Uwais sudah gila.

"Dasar gila" kata mereka menyoraki Uwais.Tapi ia tak peduli dan terus menggendong anak dombanya naik turun bukit.

Tahun berlalu, anak domba yang kecil itu menjadi domba yang besar, tubuh Uwais yang kurus menjadi berotot dan kuat. Sampai tibalah musim haji yang ditunggu,

Uwais pergi ke Mekkah menggendong Ibunya untuk berhaji. Orang-orang yang dulu menghina jadi mengerti mengapa ia melakukan itu. Ternyata Uwais ingin mewujudkan keinginan Ibunya. Kalian tahu nak, berapa jauh jarak Yaman ke Mekkah?" tanya saya.

Anak-anak menggeleng.

"Jauhnya kurang lebih dari Banyuwangi sampai Jakarta. Dan sepanjang perjalanan itu adalah padang pasir yang tandus. Kalian bisa bayangkan?"

"Haaa... Kuat sekali" gumam si kecil.

"Itulah demi bakti kepada Ibu. Allah kuatkan langkahnya" itu suara suami saya. "Kalian juga harus berbakti kepada orangtua, terutama kepada Bunda" lanjutnya.

Si sulung tiba-tiba memelukku, "aku sayang Bunda. Aku ingin menjadi anak berbakti, tapi Bunda jangan minta gendong yaa. Aku akan berbakti dengan cara yang lain" kami berpandangan lalu tertawa. Suami menjawil hidung remaja berkacamata itu, gemas.

Selagi masih punya orangtua, yuk terus berbakti. Tak harus menggendong Ibu seperti yang Uwais al Qarni lakukan, tapi sikap Uwais yang sangat menyayangi dan berbaktilah yang kita teladani.

Banyak cara berbakti, yang paling ringan adalah menyebut nama orangtua dalam tiap sujud kita.

Sudahkah mendoakan orangtua kita hari ini??


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

~HUJAN~⠀

“AKU INGIN TERUS SEKOLAH, BU..”

“BOLEHKAH AKU IKUT BELAJAR?”