Namaku Novie...
“Anggriani, bukan anggraini” kataku bersungut sungut
Petugas kantor pos itupun meminta maaf sambil menyerahkan buku tabunganku. Waktu itu aku kelas empat SD, sepuluh tahunan usiaku.
Entah ini kali keberapa aku harus meralat namaku. Kenapa orang selalu salah baca. Sebel. Aku nggak suka namaku. Apalagi didepan Anggriani adalah Novie. Sebuah nama yang sangat pasaran.
Aku ingin ganti nama, titik.
“Oo… jadi begitu. Mau ganti nama apa?”
Ayahku menanggapi dengan tenang ketika aku sampaikan kegundahan hatiku terhadap nama yang kusandang. Aku menyampaikannya dengan menangis, lalu membandingkan dengan nama kakakku yang simple dan tidak pernah orang salah mengeja, Ira Nurdiana. Juga nama adikku yang indah dan tidak pasaran, Hanie Kusuma Wardani. Tapi aku??? Novie Anggriani, sudah nama pasaran orang selalu salah pula mengeja namaku. Nyebelin kan???
“Sini Papa ceritani” kata Ayahku menyuruhku duduk disampingnya. Aku menurut meskipun dalam hati bertanya tanya apa hubungannya ganti nama dengan sebuah cerita.
“Waktu kamu akan lahir, Papa pindah tugas dari Surabaya ke Kediri sini. Waktu itu Papa dan Mama bertekat untuk tidak tinggal bersama Mbah Kakung di desa. Kami harus punya rumah sendiri. Maka Mama merelakan semua perhiasannya untuk dijual dan Papa menguras semua tabungan selama bertahun-tahun untuk membeli sebuah rumah impian kami” Papa terdiam membetulkan posisi duduknya
“meskipun demikian ternyata uang kami terkumpul tidak banyak. Perkiraan hanya cukup untuk membeli tanah yang tidak terlalu luas. Atau sebuah rumah kecil. Padahal Mamamu sangat menginginkan sebuah rumah dengan halaman yang luas ada masjidnya, seperti rumah Mbah Kakung agar kau puas bermain bersama saudaramu dihalaman rumah sendiri. Mamamu terus berdoa dan tetap yakin akan bisa mendapatkan rumah impiannya dengan uang kami yang tidak seberapa” kata Ayahku melanjutkan ceritanya.
“Dan Alhamdulillah Allah menjawab doa Mama tepat di hari kelahiranmu, di bulan November 1980, kami menemukan rumah ini. Rumah yang berhalaman luas didekat masjid. Makanya kamu Papa beri nama Anggriani, dari kata Andalemy. Griya, rumah. Semoga kelak kau besar bisa punya banyak rumah dan kamu menjadi orang yang bermanfaat hidupmu”
Sejak hari itu aku belajar memotivasi diriku untuk mensyukuri nama pemberian Ayahku. Nama yang ternyata penuh makna dan sejarah dibaliknya, juga doa dan harapan orangtuaku.
Lepas SD Ayahku memasukkan aku ke sebuah pesantren putri di Ponorogo. Aku tidak pernah lagi menyoal namaku. Ketika teman-teman jawa Baratku yang -- jika mengucapkan huruf “V” atau “F” menjadi “P” -- selalu memanggilku dengan “Nopi” bukan “NoVi” aku tidak lagi sewot seperti kepada petugas kantorpos saat aku SD dulu. Bahkan kini setelah belasan tahun berlalu aku rindu sapaan itu.
Pun juga Anggriani yang masih sering salah dengan Anggraini, aku akan menjelaskan dengan tersenyum maklum. “Ani yaa, bukan Ini dibelakang Anggri” lalu orang salah eja itu kemudian meralat ucapannya sambil memandangku dengan tatapan mohon maaf dari lubuk hati yang paling dalam. So simple like this….
Enam tahun dipesantren aku melanjutkan pendidikan di fakultas psikologi UMM. Tidak terlalu menonjol dalam bidang akademik, tapi aku aktif berorganisasi. Dari situlah aku bertemu jodoh. Laki-laki baik yang sangat sabar asli Malang, Herman namanya. Jangan tanya saiapa nama panjangnya, karena memang namanya hanya enam huruf itu. Padahal posturnya tinggi tegap berambut lurus berkulit sawo manis eh sawo matang, cerdas dan pandai mengaji. Idaman banget pada masanya, apalagi IPKnya cumlaude mendekati nilai sempurna.
Kami menikah satu minggu menjelang dia wisuda, sementara aku masih terkatung-katung menunggu acc judul skripsi. Saat akan menikah Ayahku tidak menanyakan kepada calon suami tentang berapa gaji dia, tapi Papa meminta mas Herman untuk memastikan aku lulus menjadi sarjana Psikologi apapun yang terjadi. Dan dia memenuhi janjinya, satu tahun setengah setelah menikah aku diwisuda.
Alhamdulillah, ijazah psikologi yang kutempuh dengan berdarah-darah karena harus menjalankan peran sebagai istri dan ibu itu kini sangat bermanfaat. Aku mengabdikan diri sebagai guru BK disebuah SMP Negeri di kabupaten Kediri. Meskipun dulu saat masih muda dan punya standar keren yang sangat rumit, menjadi guru bukan cita-citaku.
Tapi kini, aku sangat menikmati peran itu. Menjadi Guru itu menyenangkan. Aku yakin, pekerjaan ini adalah keberuntungan dari namaku, do’a orangtuaku.
Maturnuwun Pa, Ma….
Rejomulyo, 10 April 2018.
Belajar menulis bersama Pak Cah, Cahyadi Takariawan.
Belajar menulis bersama Pak Cah, Cahyadi Takariawan.
Komentar
Posting Komentar